KEKACAUAN PESTA
(THE PARTY WAR)
"Anak anak berhati yang keji tidak akan pernah bisa dipersatukan bersama anak anak berhati bak malaikat, jika untuk tujuan berdamai. Bak Elektron dan Proton, Positif dan Negatif, berbanding terbalik satu sama lain. "
Lady Lesso dan Professor Dovey diam diam membuat suatu pesta meriah yang berisikan Para Never (murid-murid sekolah Kejahatan) dan Para Ever (murid-murid sekolah Kebaikan). “Kau yakin dengan semua ini? Karena yang kutahu dari pengalaman, Kebaikan jika bersatu dengan Kejahatan akan berubah menjadi kecelakaan,” ucap Professor Dovey, guru sekolah Kebaikan. “Sudah, tenang saja. Aku sudah membuat rencana yang tidak akan membuat hal yang kau pikirkan terjadi. Jika terjadi kecelakaan, mereka semua akan diberi hukuman berat.”
“PENGUMUMANNNNNNNNNNN!!!” Seru Beatrix dengan suara cemprengnya menuju kamar. Alicia dan Reena sontak terkejut dengan kedatangan Beatrix yang mendadak. “Duh Beatrix, volume suaramu tidak layak berada di dalam ruangan!” Ketus Reena kesal. “Ups, maaf…..” Balas Beatrix dengan wajah cengengesan. “Pengumuman apa yang sangat penting itu?” Tanya Alicia. “Oh iya, hampir saja aku lupa,” balas Beatrix.
Ia menunjukkan kertas poster yang bertuliskan ‘PESTA NEVER DAN EVER! Malam ini, di Hutan dekat Menara Kepala Sekolah.’
“Apa-apaan?! Dengan para penyihir jelek itu? Menjijikan sekali!” Tukas Reena. Alicia tiba-tiba teringat dengan sahabat lamanya, Sophie yang berada di Sekolah Kejahatan.
“Hei, Alicia! Kepikiran apa?” Seru Beatrix. “T-tidak penting. Hanya teringat masa lalu. Eh, apa yang tertulis di bagian Catatan itu?” Ucap Alicia.
‘Catatan: Semua. Wajib. Hadir! Yang tidak hadir harus membersihkan tempat Pesta!’
“Ck, sepertinya mereka tahu apa isi pikiran kita anak Ever,” gerutu Reena. “Tapi sepertinya akan seru. Bisa melakukan eksperimen sihir kita,” Ucap Beatrix dengan senyum liciknya.
Di sisi lain, di sekolah Kejahatan, Sophie sedang berjalan jalan di sekitar lorong sekolah. Pandangannya pun kemudian tertuju pada satu kertas besar yang tertempel di papan.
“Pesta.. Ever-Never?” Ia mengernyit kebingungan. Tindakan impulsif macam apa yang telah dibuat oleh 2 sekolah yang berbeda itu?
“SOOPHIEEEEEEE!!!”
Anadil berlari lari menuju keberadaan Sophie dengan raut wajah yang tidak bisa didefinisikan.
“Kau akan terkejut melihat apa yang akan terjadi malam ini!” ucapnya. “Maksudmu, pesta itu?” Tanya Sophie dengan jari telunjuknya yang mengarah pada sebuah papan besar. “Kau sudah tahu ternyata,” balasnya lirih.
“Oh ayolah jangan terlalu kecewa dengan itu, kau akan terlihat lemah,” balas Sophie sambil memegang kedua pundak temannya itu. “Kita akan guncangkan pesta itu bersama sama.”
Matahari tidak lagi menyinari Bumi, kini Dewi malam menunjukkan dirinya, Bersinar di tengah tengah langit yang gelap.
Alicia beserta teman-temannya kini menikmati hidangan pesta sambil berbincang ria. ‘Belum ada tanda-tanda ia datang’ batinnya.
“Para penyihir sepertinya sudah lupa akan pesta ini,” ujar Millicent dengan nada mengejek. “Mereka melewatkan acara seru ini,” sambung Beatrix yang sedang menikmati cupcake dengan krim stroberi.
“Siapa bilang kami melupakan pesta?”
‘Sophie?’
Alicia langsung menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok sahabatnya yang sedaritadi sudah memenuhi isi kepalanya. Sophie dengan gaun hitam pendek miliknya. Banyak hal yang telah berubah dari dirinya, sangat banyak. Ia hanya berharap bahwa Sophie masih mengingatnya.
“Oh, hei, Alicia,” ucap Sophie dengan nada yang berbeda menurut Alicia. “Hai, Sophie,” balas Alicia. “Cih, dasar sok akrab,” sinis Beatrix. Tidak ada balasan darinya, mereka langsung melengos pergi menuju tempat para Never lainnya berkumpul.
Alicia, berkalut dengan pikirannya. Merasakan sesuatu yang aneh, seolah olah ia bisa merasakan ramalan bahwa akan terjadi hal yang buruk. Dan itu berasal dari………………………………………………………….. sahabatnya?
Dengan cepat ia menjauhkan pikiran negatifnya itu, ‘tidak, Sophie adalah gadis dengan pribadi yang baik. Aku tahu itu, aku mengenalnya. Sophie adalah siswa baik, dia seharusnya berada dengan para Ever.’
“Sedang memikirkan apa?”
Tedros, sang pangeran, menghampiri Alicia yang sedang termenung. “Kau mengejutkanku saja!” Balas Alicia dengan wajah cemberut. “Oh, maaf-maaf. Aku tidak berniat mengejutkanmu, karena sepertinya sedang banyak pikiran ya?” Ucap Tedros kemudian. “Aneh, aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.”
Suasana pesta masih berjalan sesuai rencana Lady Lesso dan Professor Dovey. Namun, itu tidak berjalan lama, karena……………
‘Mari kita mulai pesta yang sesungguhnya.’
Mata Alicia melirik ke arah kerumunan anak-anak Never. Namun, Ia tidak menemukan Sophie di sana. “Kemana dia pergi?” Gumam Alicia. Tanpa berlama-lama, ia berjalan menuju kerumunan tersebut.
“Apakah tuan putri butuh bantuan?” Ujar Hester. Alicia menghela nafasnya pelan, “dimana Sophie?” Tanyanya kemudian.
“Ada perlu apa kau disini, Alicia?” Untungnya, orang yang dicari Alicia sudah berada tepat di hadapannya. “Sophie, kau darimana saja? Aku tidak melihatmu sedaritadi,” tanya Alicia dengan nada menggebu-gebu.
“Apakah kau perlu tahu soal itu?” Tanya Sophie cuek. Alicia tertegun sejenak, “Ya, aku perlu tahu. Aku adalah sahabatmu, ingat?” Balas Alicia.
Sophie kemudian tertawa mendengar ucapan Alicia kepadanya. “Sahabat? Yang benar saja. Apakah orang yang mencampakkan orang lain pantas disebut sahabat? Setelah semua yang kulakukan kepadamu, pada akhirnya kau pergi bersama Tedros, pangeran tersayangmu itu. Dan kau, masih saja menganggap aku sahabat?”
Alicia terkejut mendengar perkataan sahabatnya itu. “S-sophie, a-aku tidak bermasud untuk meninggalkanmu di sekolah itu!” Balasnya.
“Kau berbohong, Alicia. Kau memilih Tedros, dibandingkan aku. Aku tahu itu,” ucap Sophie memalingkan wajahnya. “Lagipula, kau berada di lingkungan para Ever, dan aku, seorang never. Mustahil untuk bersatu kembali, sangat mustahil.”
“Tidak, Sophie! Kita masih bisa! Aku tahu kau, kau adalah pribadi yang baik. Kau tidak akan mau melakukan sesuatu yang jahat kan?” Seru Alicia dengan mata yang berbinar binar, berharap apa yang ia pikirkan benar adanya.
“Kau sepertinya terlalu delusional ya? Sadarlah, Alicia, aku bukanlah sahabatmu lagi. Kita terlalu berbeda, dan terlalu mustahil untuk disatukan,” ketus Sophie, berusaha untuk menghindari Alicia. Tapi, Alicia tetap berusaha membujuk sahabatnya.
“Sudahlah, Alicia! Kau tidak pantas memohon kepada penyihir tidak punya perasaan itu,” Tedros kini menghampiri Alicia. “Tidak, Tedros. Sophie itu baik! Aku ta— ”
“SUDAH CUKUP!”
Sihir merah muda akhirnya menyala di jari telunjuk Sophie, menuju ke arah Tedros dan Alicia.
“S-sophie, kau…..” ucap Alicia lirih. Ia tidak menyangka sahabatnya telah berubah.
“Cukup sampai di sini Alicia, kau membuatku muak dengan tindakan sok polosmu itu. Berakhirlah dengan pangeranmu!” Seru Sophie yang akan menyerang sahabat dan pangerannya.
“HENTIKAN, SOPHIE!”
Tepat pada waktunya, Tristan datang ke hadapan Sophie dan menahan serangannya.
Sophie langsung melepas genggaman Tristan dengan wajah penuh kemarahan. “Oh, kau ingin menjadi sosok pahlawan kesiangan?” Tanyanya dengan senyum miring.
“Kau gila ya? Ingin mencelakakan teman-mu sendiri?! DIMANA LETAK HATI NURANIMU? APAKAH KAU TIDAK PERNAH MERASAKAN SUATU EMPATI YANG BERGEJOLAK DI DALAM HATIMU?” Bentak Tristan yang kemudian diikuti nafas yang gelagapan.
“AKU BENCI MEMIKIRAN EMPATI KARENA ITU AKAN MENJADIKAN MANUSIA LEMAH! IA LEMAH KARENA MEMIKIRKAN ORANG LAIN! AKU MENJADI NAIF KARENA ITU!” Ucap Sophie balas membentak. Tristan tertegun sejenak, menatap Sophie.
“Sejak kapan Alicia memikirkan perasaanku? Ia sudah memiliki Tedros. Yang dimana karena ialah Alicia sanggup meninggalkanku. Apa yang ia inginkan adalah hidup bersama pangeran, bukan hidup dengan sahabatnya,” tambah Sophie.
“Sophie, maaf..” ucap Alicia kemudian.
“Oh iya, kuakui memang Ever adalah pribadi yang lemah,” ucap Sophie. “Apa katamu?” Rahang Tristan mengeras, amarah bergejolak di hatinya. “Bukankah apa yang kukatakan itu benar? Emosi yang menggebu-gebu, tindakan naif, sungguh pengendalian diri yang buruk.”
“Kau sepertinya perlu diberi pelajaran ya,” ucap Tristan sambil mengepalkan tangan. Sophie dengan senyum liciknya membalas, “coba saja kalau kau bisa melawanku.”
Dengan kekuatan sihir merah muda, Sophie menyerang Tristan hingga ia pingsan dan terluka di bagian dadanya.
“Lihat! Never menyerang Ever!” Seru salah satu anak Ever. Tedros kemudian bangkit dari lantai, “SERANG DIA!” Serunya menunjuk ke arah Sophie.
Pesta berubah menjadi arena perkelahian. Evers dan Nevers saling menyerang dengan sihir dan kekuatan masing masing. Suara dentuman dan teriakan bercampur menjadi melodi chaos yang tak tertahankan. Alicia yang melihat perkelahian itu merasa sangat kecewa melihat Sophie. Hatinya sudah sedingin es, tidak ada lagi kehangatan yang muncul.
Dalam sekejap, dia berlari ke arah Sophie dan berteriak, “Berhenti! Ini bukan cara kita!” Sophie tertegun sejenak, tetapi kemudian kembali tersenyum dengan sarkastis. “Oh, Alicia! Selalu menjadi pahlawan! Kenapa tidak kau biarkan aku bersenang-senang?”
Alicia merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. “Ini bukan kesenangan! Ini adalah kehancuran!” jawabnya dengan penuh emosi.
Alicia merasa marah dan kecewa. “Ini bukan pesta, ini bencana!” serunya, berlari menuju api yang berkobar. Di belakangnya, Tedros, sang pangeran, berlari untuk membantu. “Kau tidak bisa melakukan ini sendirian!” teriaknya, suaranya penuh semangat. Dengan cepat, keduanya bekerja sama. Alicia menggunakan sihir penyembuhnya untuk mengobati luka-luka kecil di antara teman-teman mereka, sementara Tedros memadamkan api dengan air yang diciptakannya dari udara.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang dan melelahkan, Alicia dan Tedros berhasil menenangkan semua orang. Mereka berdiri di tengah kekacauan yang tersisa — tenda terbakar, makanan berantakan, dan hati yang terluka.
“Satu hal yang pasti,” kata Tedros sambil menghela napas panjang. “Pesta ini akan dikenang selamanya.” Alicia tersenyum pahit. “Ya, mengenang kekacauan.” Dia menatap sekeliling dan merasakan hatinya yang terluka.
“Kau tidak usah khawatir mengenai Sophie. Mungkin momen kalian sebagai sahabat tidak akan berlangsung lama. Lagipula, kau masih memiliki Millicent, Reena, dan Beatrix, dan juga aku,” ucap Tedros. Alicia mengangguk. Mereka berpegangan tangan, berjalan menuju kastil.
Ketika malam tiba dan bintang-bintang mulai muncul kembali di langit yang gelap, Alicia selalu berharap bahwa suatu hari nanti mereka bisa merayakan tanpa kekacauan — tanpa rasa kecewa dan kemarahan yang menyelimuti hati setiap orang.
The End.
Bentuk Karya : Cerita Pendek (Cerpen)
Kata Kunci : Kecewa, Marah, Perkelahian, Pesta.
Komentar
Posting Komentar